Kunjungi Indonesia

Visit Indonesia 2008 Kunjungi blog saya di Solehudin.multiply.com

Senin, 05 Mei 2008

cerpen

Lelaki Itu…

Saturday, 03 May 2008

Lelaki itu baru sembuh dari sakit tapi masuk rumah sakit lagi. Wajahnya pucat pasi. Anak-anaknya tak peduli.

Mereka masih menyimpan bara amarah di hati.Lelaki itu dianggap jalan sendiri. Memilih menikah lagi, setelah 15 tahun tinggal sendiri karena ditinggal mati sang istri. Anak-anaknya sudah menasihati, tak mudah menikah lagi, apalagi kondisi tubuhnya sudah sulit diajak kompromi. Kepala tujuh hampir me-nyambangi.. Lebih baik hidup dinikmati.

*** Tapi lelaki itu tak betah sendiri tanpa ada teman tempat curahan hati. Bagaimana pun ia butuh teman pengusir sepi.Apalagi anak-anaknya sudah dewasa dan sibuk dengan kepentingan sendiri-sendiri.Tiga anaknya sudah beristri.Tinggal si bungsu yang masih sendiri dan belum bersuami.Namun ia sulit ditemui.Pergi kerja pagi-pagi dan pulang malam hari. Bertahun-tahun hal itu sudah terjadi.

Dan,bertahun-tahun pula lelaki itu merasa tak ada yang menemani. Di rumah ia hanya seorang diri. Dari pagi hingga malam hari dan pagi lagi.Tanpa ada yang peduli.Semakin hari ia merasa hidupnya semakin sepi. Ia semakin tak punya arti. Kondisi inilah yang membuatnya bersikeras hati, untuk menikah lagi. Ternyata, anak-anaknya tak mau mengerti.Mereka punya argumen sendiri.

Menurut mereka apa kata orang nanti, kalau ayahnya kawin lagi, sementara gadis bungsunya masih sendiri dan belum bersuami.Lelaki itu tetap bersikeras hati.Baginya jodoh,rezeki, dan mati sudah menjadi takdir Ilahi.Ia sudah tak betah hidup sendiri. Jika ia sakit nanti siapa yang mengurusi.

Anak-anaknya sudah punya kehidupan sendiri-sendiri. Ia tak mau ngerepotin dan khawatir dianggap selalu ngerecokin. Jadi, menikah lagi adalah solusi. Ia sudah mantap hati. Sebelum mati, ia ingin berbagi hati.Ia ingin kembali dicintai. Ia ingin seorang wanita mengisi hari-harinya sebelum mati. Ia berharap anak-anaknya mau memahami. Namun mereka tak mau mengerti.

Anak-anaknya menganggap lelaki itu mau enak sendiri. Sejak ada rencana pernikahan ini, si bungsu menangis sejadi-jadinya. Ia merasa sangat malu hati.Masa bapaknya ”melangkahi”.Ia belum menikah malah bapaknya kawin lagi. Ia pun pergi.Membawa hati yang tertusuk duri. Pada hari pernikahan bapaknya, ia sulit dicari. Ia bagai ditelan bumi. Putra sulung lelaki itu beda lagi.

Ia cenderung tak peduli. Ia hanya mewanti- wanti, pernikahan ini jangan menggerogoti ketenangan keluarganya yang sudah terbina selama ini.Bapaknya berjanji, apapun yang terjadi nanti akan ia hadapi sendiri.”Dengan selalu berbesar hati kita tak terus menerus dilecuti rasa dendam dan sakit hati,”ujar lelaki itu menasihati. Si sulung berusaha memahami.

Ia berusaha menyelami obsesi dan isi hati lelaki yang mengantarkannya pada kehidupan duniawi ini.. Setidaknya sesama lelaki sejati ia harus bisa kompromi. Apalagi lelaki itu memang ayah kandungnya sendiri.Tangan lelaki itu pun ia salami.Lalu memeluknya sepenuh hati.Bagaimana pun lelaki itu adalah orang tuanya yang harus dihormati. Kemudian ia pergi.

*** Hari pernikahan yang dinanti berlangsung sederhana sekali.Hanya sebuah serimoni pertanda dua hati mengikat janji di depan tuan kadi.Tak ada pesta warna-warni. Anak-anak lelaki itu tak tampak dalam keceriaan ini. Lelaki itu mencoba memahami kondisi.Mungkin,katanya dalam hati, ini sebuah solusi. Setidaknya mencegah konfrontasi antara anak-anaknya dan wanita yang dinikahi. Berat sekali.

Tapi inilah situasi yang harus dinikmati.Ia cukup berbesar hati.Ia selalu berusaha memahami situasi.Walau rasa sakit menyelip di hati, ia tetap mencoba berkompromi dengan kondisi. Ia berupaya menjadi ayah yang sejati dan sekaligus lelaki yang bisa mencintai dan dicintai. Dua bulan setelah menikah lagi lelaki itu jatuh di kamar mandi. Seluruh badannya terasa nyeri.

Dokter bilang ia depresi. Darahnya naik tinggi. Stroke hampir menggerogoti.Untung ia cepat diobati.Kalau tidak mungkin sudah mati. Ia sempat sekarat tujuh hari.Tak satu orang pun bisa ia kenali,termasuk istri yang baru dinikahi. Belum sempat bulan madu dinikmati, he malah jatuh di kamar mandi.Untungnya tidak mati.

Lagi-lagi lelaki itu bersyukur pada Ilahi, masih dikasih kesempatan menikmati hidup sekali lagi.Mungkin ini dosanya pada sang putri yang ia ”langkahi”. Ia berjanji, sebelum mati harus mencari suami buat si bungsu putri, Dewi Komaratih.Janji ini membuat ia seakan hidup lebih kuat lagi.Apapun yang terjadi, ia akan mencari lelaki yang mau menikahi Dewi Komaratih. Istrinya bisa mengerti.

Baginya, ini merupakan janji suci sang suami.Ia bisa memahami betapa sedih nasib seorang putri yang tak kunjung mempunyai suami.Betapa sedih seorang lelaki, jika melihat putrinya terus menerus seorang diri.Tanpa lelaki, tanpa suami yang menemani.Sebagai wanita sejati ia tak tega melihat kenyataan ini.

Setelah dua bulan di rumah sakit lelaki itu diizinkan kembali, dengan catatan check up setiap dua hari sekali. Teman-temannya datang mencandai. Lelaki itu mereka nilai tua-tua keladi, makin tua makin tancap gigi. Ibarat mobil,baru ganti busi langsung dipacu lari ke gunung yang amat tinggi,akhirnya jatuh di kamar mandi. Mendapat candaan ini lelaki itu menjadi malu hati. Tapi ia tak sakit hati.

Pikirannya hanya pada sang putri. Rasa sesalnya telah menggerogoti seluruh sel dan nadi.Apakah ini sebuah kutukan dari seorang anak kepada ayahnya yang kawin lagi? Ayah yang tega melangkahi,padahal putrinya belum mendapatkan suami. Bukannya mencarikan anaknya calon suami,malah tega-teganya kawin lagi.Inikah zaman edan,seorang ayah hanya mementingkan diri sendiri.
Lelaki itu makin larut pada sesal diri. Hatinya makin perih tatkala mengingat sang putri tak pernah menyambangi. Hubungan mereka terputus sejak ia menikah lagi.Saat ia terkapar di rumah sakit sang putri tak peduli.Begitu juga saat ia sembuh, sang putri tak pernah menampakkan diri. Rasa berdosa meracuni. Darahnya kembali naik tinggi. Dua minggu setelah pulang dari rumah sakit ia jatuh lagi.

Tubuhnya kejangkejang tak sadarkan diri.Lagi-lagi ia dilarikan ke rumah sakit untuk diobati. Peralatan ICU rumah sakit menjadi transmisi antara hidup dan mati, antara fakta dan misteri.Tim medis terus menerus mencermati. Setiap suara dideteksi. Semua alat deteksi berpacu mengimbangi denyut nadi. Emosi telah menggerogoti organ-organ inti.Paru-parunya telah diracuni cairan yang sulit dideteksi.

Lelaki itu tak bisa bergerak lagi.Hanya matanya menatap ke kanan dan ke kiri. Nyawanya seakan dikalkulasi dan ajalnya hendak disiasati. Bisakah malaikat maut dipecundangi teknologi? Di dalam hati ia mencermati dan mengkaji-kaji, apakah hidupnya memang tinggal sebentar lagi.Mendadak ia menjadi takut sekali. Di ruangan ICU yang sunyi,di dalam pertarungan antara hidup dan mati, lelaki itu memohon pada ilahi agar diberi kesempatan hidup sekali lagi.

Ia berjanji akan menyelesaikan semua persoalan duniawi yang mengganjal hati dan mencederai silaturahmi antara ia dan si bungsu putri.Sebelum mati, ia ingin bertemu dengan Dewi Komaratih. Dalam keadaan sekarat, ia tetap setia menunggu datangnya sang putri. Bulir-bulir air mata menetes membasahi seprai. Ruang ICU yang sunyi menjadi saksi.

*** Sang putri sudah lama pergi.Ia mengembara membawa luka hati. Setelah terombang-ambing ke sana kemari, ia bermaksud pergi ke Cile menemui temannya seorang peneliti. Ia sengaja bersembunyi di tempat sepi untuk menenangkan diri, meredam emosi,dan mengobati luka hati.Ia bertekad tak akan kembali lagi, meski ayahnya terus mencari. Ketika ditransit di Changi, abangnya menghubungi.Ayah masuk rumah sakit lagi.Kondisinya kritis sekali. Semua organ tubuhnya tak berfungsi.Sebaiknya kamukembali.

Siapatahuayah tak ada umur lagi.Sebelum ayah pergi, kau harus temui. Jangan sampai menyesal nanti. Kau harus berbesar hati. Ayah memang kurang peduli,keras hati, dan mau menang sendiri,tapi sebagai anakkitaharusterusmenerusberbakti, apalagi kau satu-satunya yang putri di antara kami.Kau harus kembali. Semula Dewi tak peduli.Tekadnya sudah mantap untuk pergi.Jauh,jauh sekali.

Bila perlu sampai ke ujung bumi. Namun setelah ia renungi, ia hayati, kata-kata abangnya terasa kian menusuk hati.Ayah memang mau menang sendiri,tapi sebagai anak kita harus terus menerus berbakti.Kata-kata itu kian menusuk-nusuk hati.Kepedihan langsung melecuti diri.Air matanya tak terbendung lagi, mengalir hingga ke pipi, menembus pori-pori dan menusuk perih hingga sanubari.

Di antara keramaian Changi ia merasa sendiri. Ia merasa dikuliti. Hatinya menghujat diri,mengapa ia begitu emosi dan sama seperti ayahnya yang mau menang sendiri. Mengapa ia tak menyadari bahwa ia bermusuhan dengan ayah kandungnya sendiri. Ia menjadi menyesali diri, kenapa larut dalam emosi. Padahal banyak solusi dan selama ini ia selalu bisa kompromi. Ia selalu mengasihi dan peduli.

Sikap ini yang membuat teman-temannya selalu merasa simpati.Tapi kenapa dengan ayahnya sendiri ia benci setengah mati.Kenapa ia sakit hati karena ayahnya kawin lagi. Bukankah pernikahan itu sesuatu yang manusiawi. Ia terisak meratapi diri. Ia lalu berlari melupakan Cile dan pergi meninggalkan Changi.Ketika tiba, rumah sakit sudah sunyi. Ruang ICU terkunci. Jam besuk telah usai.

Ia diminta menanti beberapa jam lagi. Ia hanya bisa melihat dari balik kisi-kisi, ayahnya terkulai.Lemah tanpa tenaga lagi.Bertarung an-tara hidup dan mati.Menjelang pagi ia baru diizinkan masuk mendampingi. ”Ayah maafkan Dewi,”katanya berkali- kali.Air mata menggenangi pipi. ”Ayah maafkan Dewi,”isaknya lagi. Tak ada reaksi.Jari jemari ayahnya diusapnya berulang kali, juga tak ada reaksi.

*** Mata ayahnya berat sekali.Seluruh sendi dan nadi seakan sudah mati. Ia tak bisa bereaksi. Ia hanya bisa merasakan putri berada di sisi kiri.Ia sudah kehilangan energi untuk pulih. Rasa sesal sudah meracuni metabolisme dan aliran nadi serta melumpuhkan seluruh sendi. Kekuatan dan ketegarannya selama ini sudah terlucuti. Baginya ini sebuah misteri dan sekaligus tragedi.Ia merasa ini kutukan sang putri, seorang ayah menjadi korban kutukan putrinya sendiri.

Lelaki itu menangis sejadijadi tapi hanya di dalam hati.Ia memohon pada ilahi jangan disiksa seperti ini.Ia ingin sang putri menyadari,semua ini kesalahannya sebagai lelaki, yang selalu merasa sejati tapi sesungguhnya cenderung tak tahu diri dan selalu mau menang sendiri.

Sebelum mati ia ingin semua disudahi.Tidak ada lagi benci antara ia dengan anaknya sendiri. ”Maafkan ayah putriku, Dewi Komaratih,” katanya berkali-kali tapi sang putri tak dapat mendengar tangis ayahnya dari dalam hati. Dimensi misteri terus menyelimuti.Fajar telah pergi dan malam telah berganti pagi. Ruang ICU semakin sepi.(*)

0 komentar: