Kunjungi Indonesia

Visit Indonesia 2008 Kunjungi blog saya di Solehudin.multiply.com

Selasa, 27 Mei 2008

Jumat, 23 Mei 2008

DAKWAH

Islam secara Kaffah

"Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu semuanya kedalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya dia itu musuh yang nyata bagimu."
(Qs. al-Baqarah 2:208)
Ayat diatas merupakan seruan, perintah dan juga peringatan Allah yang ditujukan khusus kepada orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang mengakui Allah sebagai Tuhan satu-satunya dan juga mengakui Muhammad selaku nabi-Nya agar masuk kedalam agama Islam secara kaffah atau secara keseluruhan, benar-benar, sungguh-sungguh.

Apa maksudnya ?
Pengalaman telah mengajarkan kepada kita, betapa banyaknya manusia-manusia yang mengaku telah beriman kepada Allah, mengaku meyakini apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan dia juga mengaku beragama Islam akan tetapi pada hakekatnya mereka tidaklah Islam.

Islam hanya dijadikan topeng, cuma sekedar pajangan didalam KTP yang sewaktu marak aksi demonstrasi dipergunakan sebagai tameng didalam menindas orang-orang yang lemah, melakukan aniaya terhadap golongan minoritas serta tidak jarang dijadikan sarana untuk menipu rakyat banyak.

Allah tidak menghendaki Islam yang demikian.
Islam adalah agama kedamaian, agama yang mengajarkan Tauhid secara benar sebagaimana ajaran para Nabi dan Rasul serta agama yang memberikan rahmat kepada seluruh makhluk sebagai satu pegangan bagi manusia didalam menjalankan tugasnya selaku Khalifah dimuka bumi.

Dalam surah al-Baqarah 2:208 diatas, Allah memberikan sinyal kepada umat Islam agar mau melakukan intropeksi diri, sudahkah kita benar-benar beriman didalam Islam secara kaffah ?

Allah memerintahkan kepada kita agar melakukan penyerahan diri secara sesungguhnya, lahir dan batin tanpa syarat hanya kepada-Nya tanpa diembel-embeli hal-hal yang bisa menyebabkan ketergelinciran kedalam kemusryikan.

Bagaimanakah jalan untuk mencapai Islam Kaffah itu sesungguhnya ?
al-Qur'an memberikan jawaban kepada kita :

"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling darinya, padahal kamu mengerti."
(Qs. al-Anfaal 8:20)
Jadi Allah telah menyediakan sarana kepada kita untuk mencapai Islam yang kaffah adalah melalui ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya serta tidak berpaling dari garis yang sudah ditetapkan.

Taat kepada Allah dan Rasul ini memiliki aspek yang sangat luas, akan tetapi bila kita mengkaji al-Qur'an secara lebih mendalam lagi, kita akan mendapati satu intisari yang paling penting dari ketaatan terhadap Allah dan para utusan-Nya, yaitu melakukan Tauhid secara benar.

Tauhid adalah pengesaan kepada Allah.
Bahwa kita mengakui Allah sebagai Tuhan yang Maha Pencipta yang tidak memiliki serikat ataupun sekutu didalam zat dan sifat-Nya sebagai satu-satunya tempat kita melakukan pengabdian, penyerahan diri serta ketundukan secara zhohir dan batin.

Seringkali manusia lalai akan hal ini, mereka lebih banyak berlaku sombong, berpikiran picik laksana Iblis, hanya menuntut haknya namun melupakan kewajibannya. Tidak ubahnya dengan orang kaya yang ingin rumahnya aman akan tetapi tidak pernah mau membayar uang untuk petugas keamanan.

Banyak manusia yang sudah melebihi Iblis.
Iblis tidak pernah menyekutukan Allah, dia hanya berlaku sombong dengan ketidak patuhannya untuk menghormati Adam selaku makhluk yang dijadikan dari dzat yang dianggapnya lebih rendah dari dzat yang merupakan sumber penciptaan dirinya.

Manusia, telah berani membuat Tuhan-tuhan lain sebagai tandingan Allah yang mereka sembah dan beberapa diantaranya mereka jadikan sebagai mediator untuk sampai kepada Allah. Ini adalah satu kesyirikan yang besar yang telah dilakukan terhadap Allah.

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan pendeta-pendeta mereka sebagai Tuhan-Tuhan selain Allah, juga terhadap al-Masih putera Maryam; padahal mereka tidak diperintahkan melainkan agar menyembah Tuhan Yang Satu; yang tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan."
(Qs. al-Baraah 9:31)

"Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfa'atan, namun mereka berkata: "Mereka itu penolong-penolong kami pada sisi Allah !". Katakanlah:"Apakah kamu mau menjelaskan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di langit-langit dan dibumi ?" ; Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan."
(Qs. Yunus 10:18)

Penyakit syirik ini dapat mengenai dan menyertai siapa saja, tidak terkecuali didalam orang-orang Islam yang mengaku bertauhid. Untuk itulah Allah memberikan perintah internal kepada umat Muhammad ini agar sebelum mereka melakukan Islamisasi kepada orang lain, dia harus terlebih dahulu mengIslamkan dirinya secara keseluruhan alias Kaffah dengan jalan mentaati apa-apa yang sudah digariskan dan dicontohkan oleh Rasul Muhammad Saw sang Paraclete yang agung, Kalky Authar yang dijanjikan.

Bagaimana orang Islam dapat melakukan satu kesyirikan kepada Allah, yaitu satu perbuatan yang mustahil terjadi sebab dia senantiasa mentauhidkan Allah ?

Sejarah mencatatkan kepada kita, berapa banyak orang-orang Muslim yang melakukan pemujaan dan pengkeramatan terhadap sesuatu hal yang sama sekali tidak ada dasar dan petunjuk yang diberikan oleh Nabi.

Dimulai dari pemberian sesajen kepada lautan, pemandian keris, peramalan nasib, pemakaian jimat, pengagungan kuburan, pengkeramatan terhadap seseorang dan seterusnya dan selanjutnya.

Inilah satu bentuk kesyirikan terselubung yang terjadi didalam diri dan tubuh kaum Muslimin kebanyakan.

Mereka lebih takut kepada si Roro Kidul ketimbang kepada Allah, mereka lebih hormat kepada kyai ketimbang kepada Nabi. Mereka lebih menyukai membaca serta mempercayai isi kitab-kitab primbon

Adakah orang-orang yang begini ini disebut sebagai Islam yang kaffah ?
Sudah benarkah cara mereka beriman kepada Allah ?

Saya yakin, kita semua membaca al-Fatihah didalam Sholat, dan kita semua membaca :

"Iyyaka na'budu waiyya kanasta'in"
Yang artinya :
"Hanya kepada Engkaulah (ya Allah) kami mengabdi dan hanya kepada Engkaulah (ya Allah) kami memohon pertolongan"

Atau juga :
"U diemen wij en U smeeken wij om hulp"
Yang berarti :
"THEE alone do we worship and THEE alone do we implore for help".

Ayat ini berindikasikan penghambaan kita kepada Allah dan tidak memberikan sekutu dalam bentuk apapun sebagaimana juga isi dari surah al-Ikhlash :
"Katakan: Dialah Allâh yang Esa. Allâh tempat bergantung. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada bagi-Nya kesetaraan dengan apapun."
(Qs. al-Ikhlash 112:1-4)

"Zeg: Hij, Allah is Een; Allah is Hij, van Wien alles afhangt; Hij baart niet, noch is Hij geebard; En niemand is Hem gelijk."
(Qur'an al-Ichlas het 112de: 1-4)

Hanya sayangnya, manusia terlalu banyak yang merasa angkuh, pongah dan sombong yang hanyalah merupakan satu penutupan dari sifat kebodohan mereka semata sehingga menimbulkan kezaliman-kezaliman, baik terhadap diri sendiri dan juga berakibat kepada orang lain bahkan hingga kepada lingkungan.

Untuk mendapatkan kekayaan, kedudukan maupun kesaktian, tidak jarang seorang Muslim pergi kedukun atau paranormal, memakai jimat, mengadakan satu upacara ditempat-tempat tertentu pada malam-malam tertentu dan di-ikuti pula dengan segala macam puasa-puasa tertentu pula yang tidak memiliki tuntunan dari Allah dan Rasul-Nya.

Apakah mereka-mereka ini masih bisa disebut sebagai seorang Islam yang Kaffah ? Dengan tindakan mereka seperti ini, secara tidak langsung mereka sudah meniadakan kekuasaan Allah, mereka menjadikan semuanya itu selaku Tuhan-tuhan yang berkuasa untuk mengabulkan keinginan mereka.

"Dan sebagian manusia, ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Tetapi orang-orang yang beriman adalah amat sangat cintanya kepada Allah."
(Qs. Al-Baqarah 2:165)

Kepada orang-orang seperti ini, apabila diberikan peringatan dan nasehat kepada jalan yang lurus, mereka akan berubah menjadi seorang pembantah yang paling keras.
"Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam al-Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan. Tetapi manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah."
(Qs. al-Kahf 18:54)

"Tidakkah engkau pikirkan orang-orang yang membantah tentang kekuasaan-kekuasaan Allah ? Bagaimana mereka bisa dipalingkan ?"
(Qs. al-Mu'min 40:69)

Orang-orang sekarang telah banyak yang salah pasang ayat, mereka katakan bahwa apa yang mereka lakukan itu bukanlah suatu kesyirikan melainkan satu usaha atau cara yang mesti ditempuh sebab tanpa usaha Tuhan tidak akan membantu.

Memang benar sekali, tanpa ada tindakan aktif dari manusia, maka tidak akan ada pula respon reaktif yang timbul sebagai satu bagian dari hukum alam sebab-akibat. Akan tetapi, mestikah kita mengaburkan akidah dengan dalil usaha ?

Anda ingin kaya maka bekerja keras dan berhematlah semampu anda, anda ingin mendapatkan penjagaan diri maka masukilah perguruan-perguruan beladiri, anda ingin pintar maka belajarlah yang rajin begitu seterusnya yang pada puncak usaha itu haruslah dibarengi dengan doa kepada Allah selaku penyerahan diri kepada sang Pencipta atas segala ketentuan-Nya, baik itu untuk ketentuan yang bagus maupun ketentuan yang tidak bagus.

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
(Qs. al-Baqarah 2:216)

"Yang demikian itu adalah nasehat yang diberikan terhadap orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, karena barang siapa berbakti kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan bagi mereka satu pemecahan; dan Allah akan mengaruniakan kepadanya dari jalan yang tidak ia sangka-sangka; sebab barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan menjadi pencukupnya. Sesungguhnya Allah itu pelulus urusan-Nya, sungguh Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap sesuatu."
(Qs. at-Thalaq 65:2-3)

Bukankah hampir semua dari kita senantiasa hapal dan membaca ayat dibawah ini dalam doa iftitahnya ?
"Sesungguhnya Sholatku, Ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan sekalian makhluk, tiada serikat bagi-Nya, karena begitulah aku diperintahkan."
(Qs. al-An'aam 6:162-163)
Anda membutuhkan perlindungan dari segala macam ilmu-ilmu jahat, membutuhkan perlindungan dari orang-orang yang bermaksud mengadakan rencana yang jahat dan keji, maka berimanlah anda secara sungguh-sungguh kepada Allah dan Rasul-Nya, InsyaAllah, apabila anda benar-benar Kaffah didalam Islam, Allah akan menepati janji-Nya untuk memberikan Rahmat-Nya kepada kita.
"Dan ta'atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat."
(Qs. Ali Imran 3:132)
Rahmat Allah itu tidak terbatas, Rahmat bisa merupakan satu perlindungan, satu pengampunan, Kasih sayang dan juga bisa berupa keridhoan yang telah diberikan-Nya kepada kita.

Apakah anda tidak senang apabila Tuhan meridhoi anda ?
Seorang anak saja, apabila dia telah mendapatkan restu dan ridho dari kedua orangtuanya, anak tersebut akan memiliki ketenangan dan penuh suka cita didalam melangkah, apakah lagi ini yang didapatkan adalah keridhoan dari Ilahi, Tuhan yang menciptakan seluruh makhluk, yang berkuasa atas segala sesuatu ?

Jika Allah ridho kepada kita, maka percayalah Allah akan membatalkan dan mengalahkan musuh-musuh kita. Maka dari itu berkepribadian Kaffah-lah didalam Islam, berimanlah secara tulus dan penuh kesucian akidah.

Dalam kajian lintas kitab, kita akan mendapati fatwa dari 'Isa al-Masih kepada para sahabatnya mengenai kekuatan Iman :

Mt 17:19-20 Jesus said to them: Because of your unbelief. For, amen I say to you, if you have faith as a grain of mustard seed, you shall say to this mountain, Remove from hence hither, and it shall remove; and nothing shall be impossible to you. But this kind is not cast out but by prayer and fasting. (Bible Douay)

Mt 21:21-22 And Jesus answering, said to them: Amen, I say to you, if you shall have faith, and stagger not, not only this of the fig tree shall you do, but also if you shall say to this mountain, Take up and cast thyself into the sea, it shall be done. And in all things whatsoever you shall ask in prayer, believing, you shall receive. (Bible Douay)

al-Qur'an pun memberikan gambaran :
2:187. And when MY servants ask thee about ME, say `I am near. I answer the prayer of the supplicant when he prays to ME. So they should hearken to ME and believe in ME that they may follow the right way.
Kita lihat, Allah akan mendengar doa kita, Dia akan memberikan Rahmat-Nya kepada kita dengan syarat bahwa terlebih dahulu kita harus mendengarkan dan percaya kepada-Nya, mendengar dalam artian mentaati seluruh perintah yang telah diberikan oleh Allah melalui para Nabi dan Rasul-Nya, khususnya kepada baginda Rasul Muhammad Saw.

Tidak perlu anda mendatangi tempat-tempat keramat untuk melakukan tapa-semedi, berpuasa sekian hari atau sekian malam lamanya dengan berpantang makan ini dan makan itu atau juga menyimpan, menggantung jimat sebagai penolak bala, pemanis muka, atau sebagai aji wibawa.

Ambillah al-Qur'an, bacalah dan pelajarilah, amalkan isinya ... maka dia akan menjadi satu jimat yang sangat besar sekali yang mampu membawa anda tidak hanya lepas dari derita dunia yang bersifat temporary, namun juga derita akhirat yang bersifat long and abide.

Yakinlah, bahwa sekali anda mengucapkan kalimah "Laa ilaaha illallaah" (Tiada Tuhan Selain Allah), maka patrikan didalam hati dan jiwa anda, bahwa jangankan ilmu-ilmu jahat, guna-guna, santet, Jin, Iblis apalagi manusia dengan segenap kemampuannya, Tuhan-pun tidak ada.

Kenapa demikian ?
Sebab dunia ini telah dibuat terlalu banyak memiliki Tuhan-tuhan, semua berhala-berhala yang disembah oleh manusia dengan beragam caranya itu tetap dipanggil Tuhan oleh mereka, entah itu Tuhan Trimurti, Tuhan Tritunggal, Tuhan anak, Tuhan Bapa, Tuhan Budha dan seterusnya.

Karena itu Tauhid yang murni adalah Tauhid yang benar-benar meniadakan, menafikan segala macam jenis bentuk ketuhanan yang ada, untuk kemudian disusuli dengan keberimanan, di-ikuti dengan keyakinan, mengisi kekosongan tadi dengan satu keberadaan, bahwa yang ada dan kita akui hanyalah Tuhan yang bernama Allah.

Itulah intisari dari Iman didalam Islam, intisari seluruh ajaran dan fatwa para Nabi terdahulu, dimulai dari Nuh, Ibrahim terus kepada Ismail, Ishak, Ya'kub, Musa hingga kepada 'Isa al-Masih dan berakhir pada Muhammad Saw.

Itulah senjata mereka, itulah jimat yang mereka pergunakan didalam menghadapi segala jenis kebatilan, segala macam kedurjanaan yang tidak hanya datang dari manusia namun juga datang dari syaithan yang terkutuk.

Dalam salah satu Hadits Qudsi-Nya, Allah berfirman :

"Kalimat Laa ilaaha illallaah adalah benteng pertahanan-Ku; dan barangsiapa yang memasuki benteng-Ku, maka ia aman dari siksaan-Ku."
(Riwayat Abu Na'im, Ibnu Hajar dan Ibnu Asakir dari Ali bin Abu Thalib r.a.)
Nabi Muhammad Saw juga bersabda :
"Aku sungguh mengetahui akan adanya satu kalimat yang tidak seorangpun hamba bilamana mengucapkannya dengan tulus keluar dari lubuk hatinya, lalu ia meninggal, akan haram baginya api neraka. Ucapan itu adalah : Laa ilaaha illallaah."
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Untuk itu, marilah sama-sama kita memulai hidup Islam yang kaffah sebagaimana yang sudah diajarkan oleh para Nabi dan Rasul, sekali kita bersyahadat didalam Tauhid, maka apapun yang terjadi sampai maut menjemput akan tetap Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang tiada memiliki anak dan sekutu-sekutu didalam zat maupun sifat-Nya.

Segera kita tanggalkan segala bentuk kepercayaan terhadap hal-hal yang berbau khurafat, kita ikuti puasa yang diajarkan oleh Islam, kita contoh prilaku Nabi dalam keseharian, kita turunkan berbagai rajah dan tulisan-tulisan maupun bungkusan-bungkusan hitam yang kita anggap sebagai penolak bala atau juga pemanis diri yang mungkin kita dapatkan dari para dukun,dan paranormal.

Nabi Muhammad Saw bersabda :

"Barangsiapa menggantungkan jimat penangkal pada tubuhnya, maka Allah tidak akan menyempurnakan kehendaknya."
(Hadist Riwayat Abu Daud dari Uqbah bin Amir)

"Ibnu Mas'ud berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, mantera-mantera, tangkal dan guna-guna adalah syirik."
(Hadist Riwayat Ahmad dan Abu Daud)

"Sa'id bin Jubir berkata: orang yang memotong atau memutuskan tangkal (jimat) dari manusia, adalah pahalanya bagaikan memerdekakan seorang budak."
(Diriwayatkan oleh Waki')

Percayalah, Allah adalah penolong kita.
"Sesuatu bahaya tidak mengenai melainkan dengan idzin Allah."
(Qs. at-Taghabun 64:11)

"Hai orang-orang yang beriman, ingatlah ni'mat Allah kepadamu tatkala satu kaum hendak mengulurkan tangannya untuk mengganggu, lalu Allah menahan tangan mereka daripada (sampai) kepada kamu; dan berbaktilah kepada Allah; hanya kepada Allah sajalah hendaknya Mu'minin berserah diri."
(Qs. al-Maaidah 5:11)

Apabila setelah kita melepaskan seluruh kebiasaan buruk tersebut kita mendapatkan musibah, bukan berarti Allah berlepas tangan pada diri kita dan bertambah mendewakan benda-benda, ilmu-ilmu yang pernah kita miliki sebelumnya. Akan tetapi Allah benar-benar ingin membersihkan kita dari segala macam kemunafikan, menyucikan akidah kita, hati dan pikiran kita sehingga benar-benar berserah diri hanya kepada-Nya semata.
"Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka akan dibiarkan berkata: "Kami telah beriman", padahal mereka belum diuji lagi ?"
(Qs. al-Ankabut 29:2)

"Dan sebagian dari manusia ada yang berkata: "Kami beriman kepada Allah", tetapi manakala ia diganggu dijalan Allah, maka ia menjadikan percobaan manusia itu seperti adzab dari Allah; dan jika datang pertolongan dari Tuhan-mu, mereka berkata: "Sungguh kami telah berada bersamamu."; Padahal bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada-dada makhluk ?"
(Qs. al-Ankabut 29:10)

"Dan sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang beriman dan mengetahui orang-orang yang munafik."
(Qs. al-Ankabut 29:11)

Nabi juga bersabda:
"Bilamana Allah senang kepada seseorang, senantiasa menimpakan cobaan baginya supaya didengar keluh kesahnya."
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Bagaimana bila sebagai satu konsekwensi dari usaha kembali kepada jalan Allah tersebut kita gugur ? Jangan khawatir, Allah telah berjanji bagi orang-orang yang sudah bertekad untuk kembali pada kebenaran :
"Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan."
(Qs.at-Taubah 9:20)

"Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik".
(Qs. ali Imran 3:195)

"Karena itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar."
(Qs. an-Nisa' 4:74)

Kembali kejalan Allah adalah satu hijrah yang sangat berat, godaan dan gangguan pasti datang menerpa kita dan disanalah kita dipesankan oleh Allah untuk melakukan jihad, melakukan satu perjuangan, melibatkan diri dalam konflik peperangan baik dengan harta maupun dengan jiwa.

Dengan harta mungkin kita harus siap apabila mendadak jatuh miskin atau juga melakukan kedermawanan dengan menyokong seluruh aktifitas kegiatan Muslim demi tegaknya panji-panji Allah; berjihad dengan jiwa artinya kita harus mempersiapkan mental dan phisik dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi akibat ketidak senangan sekelompok orang atau makhluk dengan hijrah yang telah kita lakukan ini.

Apakah anda akan heran apabila pada waktu anda masih memegang jimat anda merupakan orang yang kebal namun setelah jimat anda tanggalkan anda mendadak bisa tergores oleh satu benturan kecil ditempat tidur ? Bagaimana anda memandang keperkasaan seorang Nabi yang agung yang bahkan dalam perperanganpun bisa terluka dan juga mengalami sakit sebagaimana manusia normal ?

Percayalah, berilmu tidaknya anda, berpusaka atau tidak, bertapa maupun tidaknya anda bukan satu hal yang serius bagi Allah apabila Dia sudah menentukan kehendak-Nya kepada kita.

"Berupa apa saja rahmat yang Allah anugerahkan kepada manusia, maka tidak ada satupun yang bisa menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Gagah, yang Bijaksana."
(Qs. Fathir 35:2)
Apabila memang sudah waktunya bagi kita untuk mendapatkan musibah (baik itu berupa maut dan lain sebagainya) maka dia tetap datang tanpa bisa kita mundurkan atau juga kita majukan.
"Bagi tiap-tiap umat ada batas waktunya; maka apabila telah datang waktunya maka mereka tidak dapat meminta untuk diundurkan barang sesaatpun dan tidak dapat meminta agar dimajukan."
(Qs. al-A'raf 7:34)

"Masing-masing Kami tolong mereka ini dan mereka itu, sebab tidaklah pemberian Tuhanmu itu terhalang."
(Qs. al-Israa 17:20)

Seluruh Nabi dan Rasul serta para sahabat mereka telah berhasil dengan gemilang mengalahkan para musuhnya dengan hanya berpegang kepada tali Allah yang kuat, mungkin mereka dinilai gagal oleh mata manusia yang hedonis namun mereka merupakan orang-orang pilihan yang diakui atau tidak telah berada dalam urutan teratas daftar nama-nama anak manusia didalam pentas sejarah.

Dalam bacaan lintas kitab, kita akan mendapati beberapa seruan bertauhid kepada Allah semata dengan penuh pesan-pesan yang tinggi dan agung.

Ex 20:4 Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.

De 4:16 supaya jangan kamu berlaku busuk dengan membuat bagimu patung yang menyerupai berhala apapun: yang berbentuk laki-laki atau perempuan;

Isa 41:29 Sesungguhnya, sekaliannya mereka seperti tidak ada, perbuatan-perbuatan mereka hampa, patung-patung tuangan mereka angin dan kesia-siaan.

Dari al-Qur'an :
7: 192 Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.

Akhir kata, semoga Email ini bisa membawa manfaat kepada kita semua didalam memurnikan akidah Islam, menuju pada keridhoan Allah yang Kaffah, atas segala kesalahan yang terjadi saya meminta maaf dan semuanya semata-mata disebabkan keterbatasan saya selaku manusia. Semoga kita semua umat Islam, manakala panggilan telah tiba, Allah akan menyambut kita dengan penuh keramahan sebagaimana firman-Nya :
"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keadaan ridho dan di-ridhoi; Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku."
(Qs. al-Fajr 89:27-30)
Palembang - Indonesia, Minggu 09 April 2000
Copyright © 1996-2000, Armansyah, S.Kom

Selasa, 20 Mei 2008

TAFAKUR

Dunia Yang Melalaikan
Karena seandainya tentara Islam menang, niscaya Eropa akan jatuh ke tangan


Dengan kekuatan delapan ribu pasukan, Abdur Rahman Al Chafiki (wali Negeri Andalusia) bersiap-siap menaklukkan Tanah Ghalia (sekarang Perancis). Tahap pertama, Abdur Rahman dan pasukannya memasuki daerah Perancis Selatan, lalu menaklukkan wilayah (Hertogdom) Aquitania.
Hertog Aquitania berhasil meloloskan diri dan meminta bantuan raja Frank, yaitu Karel Martel the Groot atau Charlemagne untuk mengusir tentara Islam dari wilayahnya. Permintaan ini dikabulkan Karel Martel, ia pun bersiap dengan menyusun pasukan yang sangat besar jumlahnya. Akhirnya, di dekat Poitiers, berhadapanlah pasukan Nasrani di bawah pimpinan Karel Martel dengan tentara Islam di bawah pimpinan Abdur Rahman Al Chafiki. Terjadilah pertempuran yang dahsyat antara kedua belah pihak, yang dalam sejarah terkenal sebagai “Perang Tours”, perang dekat Poiters.

Tentara Islam ketika itu sangat banyak membawa harta rampasan perang yang diperolehnya dari Aquitania. Harta benda yang sangat banyak itu telah memberati dan menyusahkan pergerakan mereka.
Pertempuran dahsyat telah berlangsung selama delapan hari, dan pada hari kesembilan tentara Islam hampir saja memperoleh kemenangan besar. Tetapi pada saat yang sangat kritis itu, terjadi suara riuh dan gaduh yang menyorakkan bahwa harta rampasan perang mereka telah dirampas musuh. Mendengar itu, sebagian tentara Islam berpaling ke belakang hendak melindungi harta tersebut, sehingga barisan yang tadinya kokoh menjadi kacau balau. Kemenangan yang telah di depan mata pun menjadi sirna, bahkan Abdur Rahman tewas dalam pertempuran tersebut.

Perang yang terjadi pada tahun 112 H atau 731 M ini, dipandang sebagai pertempuran yang sangat hebat dalam sejarah Eropa, karena seandainya tentara Islam menang, niscaya Eropa akan jatuh ke tangan mereka dan meratalah Islam di Benua Putih tersebut (Latief Osman, 1961: 12-13).

Kisah yang hampir sama terjadi pada masa Rasulullah, yaitu pada perang Uhud. Ketika itu pasukan Islam di bawah komando Rasulullah menerima kekalahan menyakitkan dari kafir Quraisy, padahal kemenangan sudah hampir diraih. Penyebabnya adalah karena sebagian sahabat (pasukan pemanah) tidak mematuhi perintah Rasulullah untuk tidak meninggalkan bukit pertahanan, hal ini terjadi karena para sahabat takut tidak kebagian rampasan perang.

Kedua kisah di atas menggambarkan kepada kita, betapa kecintaan yang terlalu berlebihan terhadap harta duniawi dapat melalaikan manusia dari mengingat Allah, dan akhirnya membawa manusia pada kerugian.

Sejarah pun telah membuktikan bahwa hancurnya peradaban-peradaban besar dunia, seperti peradaban Yunani, Romawi, bahkan peradaban Islam sendiri, diawali oleh sikap yang terlalu menyanjung kenikmatan duniawi. Kecintaan yang terlalu berlebihan tersebut pada akhirnya merembet pada kerusakan moral, dilanggarnya prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, serta dihalalkannya segala macam cara untuk meraih dan mempertahankannya.

Pantaslah kalau Rasulullah memperingatkan umatnya tentang hal itu. Beliau bersabda, “Demi Allah, bukan kefakiran yang akut takutkan atas kamu. Namun aku khawatir harta dunia ini melimpah, sebagaimana hal itu terjadi kepada umat sebelum kamu. Maka kamu berlomba-lomba untuk mendapatkannya, sebagaimana mereka juga demikian, sehingga kamu pun rusak karenanya sebagaimana harta itu telah merusak keberadaan mereka.” (H.R. Bukhari).

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah mengatakan bahwa akan datang suatu masa ketika kaum muslimin seperti makanan di atas meja yang siap disantap oleh musuh-musuh Islam. Meskipun ketika itu jumlah kaum Muslimin sangatlah banyak, tapi bagaikan buih di lautan. Menurut Rasulullah, penyebabnya adalah karena kaum Muslimin telah terkena penyakit terlalu cinta dunia dan takut mati.

Tentunya Rasulullah sangat menyadari bahwa terlalu dipentingkannya urusan duniawi di kalangan umatnya akan menyebabkan terabaikannya tugas utama untuk beibadah dan mencari keridoan Allah, padahal harta dunia hanyalah wasilah atau sarana untukmencapai ghoyah atau tujuan yang lebih tinggi. Kehancuran tinggal menunggu waktu bila wasilah lebih diutamankan daripada ghoyah.

Kecintaan terhadap dunia pada dasarnya merupakan sesuatu yang intrinsik dalam jiwa manusia, karena Allah telah menetapkan hal tersebut. Tetapi Allah pun menegaskan bahwa semua kesengan dunia hanyalah kesenangan fana belaka, karena di balik itu ada kesenangan yang abadi, yaitu surga-Nya Allah (Q.S. Ali Imran : 14).

Islam pun tidak melarang untuk mencari dan mendapatkan harta yang sebanyak-banyaknya -malah Islam menganjurkannya- dengan catatan hal itu dilakukan dengan cara yang sesuai dengan aturan agama dan dipergunakan sepenuhnya untuk mendapatkan ridha Allah. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al Baqarah ayat 267: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”

Alangkah bijaknya kalau kita merenung dan melihat kembali setiap kejadian yang telah Allah tampakkan kepada kita, agar kita dapat meraih hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa tersebut. “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakinya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (Q.S. Al Baqarah: 269).
Wallahu A’lam.


Sabtu, 17 Mei 2008

DAKWAH

Yang Sesat dan Yang Ngamuk

Karena melihat sepotong, tidak sejak awal, saya mengira massa yang ditayangkan TV itu adalah orang-orang yang sedang kesurupan masal. Soalnya, mereka seperti kalap. Ternyata, menurut istri saya yang menonton tayangan berita sejak awal, mereka itu adalah orang-orang yang ngamuk terhadap kelompok Ahmadiyah yang dinyatakan sesat oleh MUI.

Saya sendiri tidak mengerti kenapa orang -yang dinyatakan- sesat harus diamuk seperti itu? Ibaratnya, ada orang Semarang bertujuan ke Jakarta, tapi ternyata tersesat ke Surabaya, masak kita -yang tahu bahwa orang itu sesat- menempelenginya. Aneh dan lucu.

Konon orang-orang yang ngamuk itu adalah orang-orang Indonesia yang beragama Islam. Artinya, orang-orang yang berketuhanan Allah Yang Mahaesa dan berkemanusiaan adil dan beradab. Kita lihat imam-imam mereka yang beragitasi dengan garang di layar kaca itu kebanyakan mengenakan busana Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Kalau benar mereka orang-orang Islam pengikut Nabi Muhammad SAW, mengapa mereka tampil begitu sangar, mirip preman? Seolah-olah mereka tidak mengenal pemimpin agung mereka, Rasulullah SAW.

Kalau massa yang hanya makmum, itu masih bisa dimengerti. Mereka hanyalah mengikuti telunjuk imam-imam mereka. Tapi, masak imam-imam -yang mengaku pembela Islam itu- tidak mengerti misi dan ciri Islam yang rahmatan lil ’aalamiin, tidak hanya rahmatan lithaaifah makhshuushah (golongan sendiri). Masak mereka tidak tahu bahwa pemimpin agung Islam, Rasulullah SAW, adalah pemimpin yang akhlaknya paling mulia dan diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Masak mereka tidak pernah membaca, misalnya ayat "Ya ayyuhalladziina aamanuu kuunuu qawwamiina lillah syuhadaa-a bilqisthi…al-aayah" (Q.S 5: 8). Artinya, wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu penegak-penegak kebenaran karena Allah dan saksi-saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum menyeret kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah; adil itu lebih dekat kepada takwa. Takwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kau kerjakan.

Apakah mereka tidak pernah membaca kelembutan dan kelapangdadaan Nabi Muhammad SAW atau membaca firman Allah kepada beliau, "Fabimaa rahmatin minaLlahi linta lahum walau kunta fazhzhan ghaliizhal qalbi lanfaddhuu min haulika… al-aayah" (Q.S 3: 159). Artinya, maka disebabkan rahmat dari Allah-lah engkau berperangai lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau kasar dan berhati kejam, niscaya mereka akan lari menjauhimu…"

Tak Mengerti
Sungguh saya tidak mengerti jalan pikiran atau apa yang merasuki pikiran mereka sehingga mereka tidak mampu bersikap tawaduk penuh pengayoman seperti dicontoh-ajarkan Rasulullah SAW di saat menang. Atau, sekadar membayangkan bagaimana seandainya mereka yang merupakan pihak minoritas (kalah) dan kelompok yang mereka hujat berlebihan itu mayoritas (menang).

Sebagai kelompok mayoritas, mereka tampak sekali -seperti kata orang Jawa- tidak tepa salira. Apakah mereka mengira bahwa Allah senang dengan orang-orang yang tidak tepo saliro, tidak menenggang rasa? Yang jelas Allah, menurut Rasul-Nya, tidak akan merahmati mereka yang tidak berbelas kasihan kepada orang.

Saya heran mengapa ada -atau malah tidak sedikit- orang yang sudah dianggap atau menganggap diri pemimpin bahkan pembela Islam, tapi berperilaku kasar dan pemarah. Tidak mencontoh kearifan dan kelembutan Sang Rasul, pembawa Islam itu sendiri. Mereka malah mencontoh dan menyugesti kebencian terhadap mereka yang dianggap sesat.

Apakah mereka ingin meniadakan ayat dakwah? Ataukah, mereka memahami dakwah sebagai hanya ajakan kepada mereka yang tidak sesat saja?

Atau? Kelihatannya kok tidak mungkin kalau mereka sengaja berniat membantu menciptakan citra Islam sebagai agama yang kejam dan ganas seperti yang diinginkan orang-orang bodoh di luar sana.

*A. Mustofa Bisri, pengasuh Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang

Tags: ayo, .. yang jernih!!!

Senin, 05 Mei 2008

cerpen

Lelaki Itu…

Saturday, 03 May 2008

Lelaki itu baru sembuh dari sakit tapi masuk rumah sakit lagi. Wajahnya pucat pasi. Anak-anaknya tak peduli.

Mereka masih menyimpan bara amarah di hati.Lelaki itu dianggap jalan sendiri. Memilih menikah lagi, setelah 15 tahun tinggal sendiri karena ditinggal mati sang istri. Anak-anaknya sudah menasihati, tak mudah menikah lagi, apalagi kondisi tubuhnya sudah sulit diajak kompromi. Kepala tujuh hampir me-nyambangi.. Lebih baik hidup dinikmati.

*** Tapi lelaki itu tak betah sendiri tanpa ada teman tempat curahan hati. Bagaimana pun ia butuh teman pengusir sepi.Apalagi anak-anaknya sudah dewasa dan sibuk dengan kepentingan sendiri-sendiri.Tiga anaknya sudah beristri.Tinggal si bungsu yang masih sendiri dan belum bersuami.Namun ia sulit ditemui.Pergi kerja pagi-pagi dan pulang malam hari. Bertahun-tahun hal itu sudah terjadi.

Dan,bertahun-tahun pula lelaki itu merasa tak ada yang menemani. Di rumah ia hanya seorang diri. Dari pagi hingga malam hari dan pagi lagi.Tanpa ada yang peduli.Semakin hari ia merasa hidupnya semakin sepi. Ia semakin tak punya arti. Kondisi inilah yang membuatnya bersikeras hati, untuk menikah lagi. Ternyata, anak-anaknya tak mau mengerti.Mereka punya argumen sendiri.

Menurut mereka apa kata orang nanti, kalau ayahnya kawin lagi, sementara gadis bungsunya masih sendiri dan belum bersuami.Lelaki itu tetap bersikeras hati.Baginya jodoh,rezeki, dan mati sudah menjadi takdir Ilahi.Ia sudah tak betah hidup sendiri. Jika ia sakit nanti siapa yang mengurusi.

Anak-anaknya sudah punya kehidupan sendiri-sendiri. Ia tak mau ngerepotin dan khawatir dianggap selalu ngerecokin. Jadi, menikah lagi adalah solusi. Ia sudah mantap hati. Sebelum mati, ia ingin berbagi hati.Ia ingin kembali dicintai. Ia ingin seorang wanita mengisi hari-harinya sebelum mati. Ia berharap anak-anaknya mau memahami. Namun mereka tak mau mengerti.

Anak-anaknya menganggap lelaki itu mau enak sendiri. Sejak ada rencana pernikahan ini, si bungsu menangis sejadi-jadinya. Ia merasa sangat malu hati.Masa bapaknya ”melangkahi”.Ia belum menikah malah bapaknya kawin lagi. Ia pun pergi.Membawa hati yang tertusuk duri. Pada hari pernikahan bapaknya, ia sulit dicari. Ia bagai ditelan bumi. Putra sulung lelaki itu beda lagi.

Ia cenderung tak peduli. Ia hanya mewanti- wanti, pernikahan ini jangan menggerogoti ketenangan keluarganya yang sudah terbina selama ini.Bapaknya berjanji, apapun yang terjadi nanti akan ia hadapi sendiri.”Dengan selalu berbesar hati kita tak terus menerus dilecuti rasa dendam dan sakit hati,”ujar lelaki itu menasihati. Si sulung berusaha memahami.

Ia berusaha menyelami obsesi dan isi hati lelaki yang mengantarkannya pada kehidupan duniawi ini.. Setidaknya sesama lelaki sejati ia harus bisa kompromi. Apalagi lelaki itu memang ayah kandungnya sendiri.Tangan lelaki itu pun ia salami.Lalu memeluknya sepenuh hati.Bagaimana pun lelaki itu adalah orang tuanya yang harus dihormati. Kemudian ia pergi.

*** Hari pernikahan yang dinanti berlangsung sederhana sekali.Hanya sebuah serimoni pertanda dua hati mengikat janji di depan tuan kadi.Tak ada pesta warna-warni. Anak-anak lelaki itu tak tampak dalam keceriaan ini. Lelaki itu mencoba memahami kondisi.Mungkin,katanya dalam hati, ini sebuah solusi. Setidaknya mencegah konfrontasi antara anak-anaknya dan wanita yang dinikahi. Berat sekali.

Tapi inilah situasi yang harus dinikmati.Ia cukup berbesar hati.Ia selalu berusaha memahami situasi.Walau rasa sakit menyelip di hati, ia tetap mencoba berkompromi dengan kondisi. Ia berupaya menjadi ayah yang sejati dan sekaligus lelaki yang bisa mencintai dan dicintai. Dua bulan setelah menikah lagi lelaki itu jatuh di kamar mandi. Seluruh badannya terasa nyeri.

Dokter bilang ia depresi. Darahnya naik tinggi. Stroke hampir menggerogoti.Untung ia cepat diobati.Kalau tidak mungkin sudah mati. Ia sempat sekarat tujuh hari.Tak satu orang pun bisa ia kenali,termasuk istri yang baru dinikahi. Belum sempat bulan madu dinikmati, he malah jatuh di kamar mandi.Untungnya tidak mati.

Lagi-lagi lelaki itu bersyukur pada Ilahi, masih dikasih kesempatan menikmati hidup sekali lagi.Mungkin ini dosanya pada sang putri yang ia ”langkahi”. Ia berjanji, sebelum mati harus mencari suami buat si bungsu putri, Dewi Komaratih.Janji ini membuat ia seakan hidup lebih kuat lagi.Apapun yang terjadi, ia akan mencari lelaki yang mau menikahi Dewi Komaratih. Istrinya bisa mengerti.

Baginya, ini merupakan janji suci sang suami.Ia bisa memahami betapa sedih nasib seorang putri yang tak kunjung mempunyai suami.Betapa sedih seorang lelaki, jika melihat putrinya terus menerus seorang diri.Tanpa lelaki, tanpa suami yang menemani.Sebagai wanita sejati ia tak tega melihat kenyataan ini.

Setelah dua bulan di rumah sakit lelaki itu diizinkan kembali, dengan catatan check up setiap dua hari sekali. Teman-temannya datang mencandai. Lelaki itu mereka nilai tua-tua keladi, makin tua makin tancap gigi. Ibarat mobil,baru ganti busi langsung dipacu lari ke gunung yang amat tinggi,akhirnya jatuh di kamar mandi. Mendapat candaan ini lelaki itu menjadi malu hati. Tapi ia tak sakit hati.

Pikirannya hanya pada sang putri. Rasa sesalnya telah menggerogoti seluruh sel dan nadi.Apakah ini sebuah kutukan dari seorang anak kepada ayahnya yang kawin lagi? Ayah yang tega melangkahi,padahal putrinya belum mendapatkan suami. Bukannya mencarikan anaknya calon suami,malah tega-teganya kawin lagi.Inikah zaman edan,seorang ayah hanya mementingkan diri sendiri.
Lelaki itu makin larut pada sesal diri. Hatinya makin perih tatkala mengingat sang putri tak pernah menyambangi. Hubungan mereka terputus sejak ia menikah lagi.Saat ia terkapar di rumah sakit sang putri tak peduli.Begitu juga saat ia sembuh, sang putri tak pernah menampakkan diri. Rasa berdosa meracuni. Darahnya kembali naik tinggi. Dua minggu setelah pulang dari rumah sakit ia jatuh lagi.

Tubuhnya kejangkejang tak sadarkan diri.Lagi-lagi ia dilarikan ke rumah sakit untuk diobati. Peralatan ICU rumah sakit menjadi transmisi antara hidup dan mati, antara fakta dan misteri.Tim medis terus menerus mencermati. Setiap suara dideteksi. Semua alat deteksi berpacu mengimbangi denyut nadi. Emosi telah menggerogoti organ-organ inti.Paru-parunya telah diracuni cairan yang sulit dideteksi.

Lelaki itu tak bisa bergerak lagi.Hanya matanya menatap ke kanan dan ke kiri. Nyawanya seakan dikalkulasi dan ajalnya hendak disiasati. Bisakah malaikat maut dipecundangi teknologi? Di dalam hati ia mencermati dan mengkaji-kaji, apakah hidupnya memang tinggal sebentar lagi.Mendadak ia menjadi takut sekali. Di ruangan ICU yang sunyi,di dalam pertarungan antara hidup dan mati, lelaki itu memohon pada ilahi agar diberi kesempatan hidup sekali lagi.

Ia berjanji akan menyelesaikan semua persoalan duniawi yang mengganjal hati dan mencederai silaturahmi antara ia dan si bungsu putri.Sebelum mati, ia ingin bertemu dengan Dewi Komaratih. Dalam keadaan sekarat, ia tetap setia menunggu datangnya sang putri. Bulir-bulir air mata menetes membasahi seprai. Ruang ICU yang sunyi menjadi saksi.

*** Sang putri sudah lama pergi.Ia mengembara membawa luka hati. Setelah terombang-ambing ke sana kemari, ia bermaksud pergi ke Cile menemui temannya seorang peneliti. Ia sengaja bersembunyi di tempat sepi untuk menenangkan diri, meredam emosi,dan mengobati luka hati.Ia bertekad tak akan kembali lagi, meski ayahnya terus mencari. Ketika ditransit di Changi, abangnya menghubungi.Ayah masuk rumah sakit lagi.Kondisinya kritis sekali. Semua organ tubuhnya tak berfungsi.Sebaiknya kamukembali.

Siapatahuayah tak ada umur lagi.Sebelum ayah pergi, kau harus temui. Jangan sampai menyesal nanti. Kau harus berbesar hati. Ayah memang kurang peduli,keras hati, dan mau menang sendiri,tapi sebagai anakkitaharusterusmenerusberbakti, apalagi kau satu-satunya yang putri di antara kami.Kau harus kembali. Semula Dewi tak peduli.Tekadnya sudah mantap untuk pergi.Jauh,jauh sekali.

Bila perlu sampai ke ujung bumi. Namun setelah ia renungi, ia hayati, kata-kata abangnya terasa kian menusuk hati.Ayah memang mau menang sendiri,tapi sebagai anak kita harus terus menerus berbakti.Kata-kata itu kian menusuk-nusuk hati.Kepedihan langsung melecuti diri.Air matanya tak terbendung lagi, mengalir hingga ke pipi, menembus pori-pori dan menusuk perih hingga sanubari.

Di antara keramaian Changi ia merasa sendiri. Ia merasa dikuliti. Hatinya menghujat diri,mengapa ia begitu emosi dan sama seperti ayahnya yang mau menang sendiri. Mengapa ia tak menyadari bahwa ia bermusuhan dengan ayah kandungnya sendiri. Ia menjadi menyesali diri, kenapa larut dalam emosi. Padahal banyak solusi dan selama ini ia selalu bisa kompromi. Ia selalu mengasihi dan peduli.

Sikap ini yang membuat teman-temannya selalu merasa simpati.Tapi kenapa dengan ayahnya sendiri ia benci setengah mati.Kenapa ia sakit hati karena ayahnya kawin lagi. Bukankah pernikahan itu sesuatu yang manusiawi. Ia terisak meratapi diri. Ia lalu berlari melupakan Cile dan pergi meninggalkan Changi.Ketika tiba, rumah sakit sudah sunyi. Ruang ICU terkunci. Jam besuk telah usai.

Ia diminta menanti beberapa jam lagi. Ia hanya bisa melihat dari balik kisi-kisi, ayahnya terkulai.Lemah tanpa tenaga lagi.Bertarung an-tara hidup dan mati.Menjelang pagi ia baru diizinkan masuk mendampingi. ”Ayah maafkan Dewi,”katanya berkali- kali.Air mata menggenangi pipi. ”Ayah maafkan Dewi,”isaknya lagi. Tak ada reaksi.Jari jemari ayahnya diusapnya berulang kali, juga tak ada reaksi.

*** Mata ayahnya berat sekali.Seluruh sendi dan nadi seakan sudah mati. Ia tak bisa bereaksi. Ia hanya bisa merasakan putri berada di sisi kiri.Ia sudah kehilangan energi untuk pulih. Rasa sesal sudah meracuni metabolisme dan aliran nadi serta melumpuhkan seluruh sendi. Kekuatan dan ketegarannya selama ini sudah terlucuti. Baginya ini sebuah misteri dan sekaligus tragedi.Ia merasa ini kutukan sang putri, seorang ayah menjadi korban kutukan putrinya sendiri.

Lelaki itu menangis sejadijadi tapi hanya di dalam hati.Ia memohon pada ilahi jangan disiksa seperti ini.Ia ingin sang putri menyadari,semua ini kesalahannya sebagai lelaki, yang selalu merasa sejati tapi sesungguhnya cenderung tak tahu diri dan selalu mau menang sendiri.

Sebelum mati ia ingin semua disudahi.Tidak ada lagi benci antara ia dengan anaknya sendiri. ”Maafkan ayah putriku, Dewi Komaratih,” katanya berkali-kali tapi sang putri tak dapat mendengar tangis ayahnya dari dalam hati. Dimensi misteri terus menyelimuti.Fajar telah pergi dan malam telah berganti pagi. Ruang ICU semakin sepi.(*)

Kamis, 01 Mei 2008

DAKWAH


Al-’Ilmu

Adalah tepat ketika Imam Mujadid abad ke-12 H, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam al-Ushul ats-Tsalatsah menyatakan bahwa kewajiban pertama di antara empat kewajiban yang harus dipelajari seorang muslim adalah ilmu.

Juga pada perkataan Imam al-Bukhori ketika mengetengahkan sebuah judul bab pada kitab Shahih-nya “Bab : Ilmu Sebelum Perkataan dan Perbuatan”. Al Imam Al Bukhari mendasarkan perkataannya pada firman Allah SWT:

“Maka Ilmuilah bahwasanya tiada ilah yang berhak disembah melainkan Allah, dan mohonlah ampun bagi dosamu” (Muhammad:19).

Pada kenyataannya ilmu itu memang teramat penting dan menentukan, oleh karena itu ia mesti menjadi hal pertama untuk dimengerti.

Mengapa Ilmu? Apakah Ilmu dan Apakah Batasannya?

Para ulama salaf telah menempatkan perhatian mereka untuk memberikan penjelasan tentang batasan ilmu, mafhum, manhaj dan kepentingannya. Hal itu kerena mereka memahami betul bahwa sebab-sebab terjadinya penyimpangan orang-orang yang sesat pada asalnya karena kekeliruan tashawwur (pandangan/wawasan) mereka tentang batasan ilmu.

Namun perlu diketahui bahwa pemahaman atau orientasi seseorang tentang ilmu akan menjadi benar dan bermanfaat jika didasari oleh iman serta keyakinan yang benar pula.

Al Imam Ibnul Qayyim mengemukakan bahwa :

Iman dan keyakinan akan melahirkan m2a’rifat (pemahaman) serta kehendak yang benar, sebaliknya, ma’rifat serta kehendak yang benar akan melahirkan serta mengkokohkan keimanan. Dari sini saja jelaslah bahwa penyimpangan kebanyakan manusia dari iman adalah disebabkan penyimpangan mereka dari ma’rifat serta kehendak yang benar.

Sementara itu iman tidak akan menjadi sempurna kecuali jika ma’rifat mengenainya diterima dari misykat nubuwwah (sumber kenabian / wahyu) dan disertai dengan kehendak yang bersih dari segenap unsur noda hawa nafsu dan keinginan untuk mencari perhatian makhluq.

Dengan begitu ilmunya benar-benar terpetik dari misykat wahyu, sedangkan kehendaknya benar-benar karena Allah dan keinginan negeri akhirat.

Itulah dia manusia yang paling benar ilmu serta amalnya, dia termasuk para imam yang mengambil petunjuk dengan perintah Allah dan termasuk khalifah Rasulullah SAW di tengah-tengah umatnya.

Perkatan Ibnul Qayyim di atas adalah senada dengan apa yang dikatakan oleh seorang sahabat nabi yang mulia, Ubadah bin Shamit: “Kalau kamu suka, saya akan beritahukan kepada kamu bahwa ilmu yang paling pertama yang akan dihilangkan dari manusia adalah Khusyu’.”
Maksudnya dari rasa khusyu’ (tunduk dan patuh) inilah sebuah ilmu yang benar akan terbangun. Tentu yang dimaksud oleh Ubadah dengan Ilmu ini adalah ilmu yang langsung menyangkut keselamatan seseorang di dunia maupun di akhirat yaitu ilmu tentang Allah dan Dienul Islam, sebab perkataan beliau tersebut berkenaan dengan hadits Rasulullah SAW :

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta dari hamba-Nya, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama, hingga manakala Dia tidak menyisakan satu orang alimpun (dalam riwayat lain: Hingga manakala tidak tertinggal satu orang alimpun), manusia akan menjadikan pemimpin-pemimpin dari orang-orang yang bodoh, maka tatkala mereka akan ditanya (tentang masalah agama), lalu mereka akan berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan. (HR Bukhari dalam al Ilmu 1/234 dan Muslim dalam al-Ilmu 16/223).

Dengan demikian untuk persoalan ilmu memang ada dua kemungkinan, ilmu yang benar dan ilmu yang salah.

Ini sesuai dengan pernyataan al Hafidz Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat:

“Dan diantara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa Ilmu” (al Hajj: 8)

tanpa ilmu disini yaitu tanpa ilmu yang benar.

Berdasarkan penjelasan di atas maka mestinya setiap hamba Allah mengkaji ulang kembali adakah ilmu yang diyakini itu sudah benar, atau bahkan ilmunya itu sekedar angan-angan kosong belaka?

Akan tetapi ketika persoalannya sampai pada pertanyaan:”Apakah definisi atau pengertian ilmu itu? Maka seperti dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdillah al Khur’an, adalah sulit untuk membuat definisi tentang ilmu, sebab disamping istilah ilmu itu sendiri ketika didengar oleh sesorang, ia akan secara sepontan dapat mengerti maksud istilah tersebut, juga karena sebuah definisi tentu memerlukan bahasa-bahasa sinonim yang secara tepat mampu memberikan penjelasan hingga keseluruhan maknanya dapat tertangkap secara utuh.

Sedangkan ilmu ketika didefinisikan dengan bahasa panjang lebar, justru mungkin akan semakin mengkaburkan makna ilmu itu sendiri, atau orang semakin tidak paham mengenainya. Begitu pula ketika ilmu disebut sebagai “ma’rifah” atau”idrak” (daya tangkap) “atau “tashawwur” (wawasan); padahal istilah-istilah itu masuk dalam pengertian ilmu.

Oleh karena itu, yang pennting disini bukanlah membahas tentang definisi ilmu tetapi tentang persyaratan-persyaratan ilmu, atau dengan kata lain kapankah suatu hal atau suatu perkataan bisa disebut ilmiah, atau bisa disebut haq dan benar?

Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan:

“ilmu ialah memindahkan gambaran yang diketahui dari kenyataan alam luar kemudian ditetapkannya (dimasukkan hingga tetap) ke dalam diri, sedangkan amal adalah memindahkan (mewujudkan) gambaran ilmiah dari arah dalam diri, kemudian dituangkan dalam alam nyata.

Apabila yang ditetapkan di dalam diri ternyata sesuai dengan kenyataan (realita), berarti dia adalah ilmu yang benar. Namun seringkali orang menetapkan sesuatu gambaran di dalam dirinya apa yang tidak ada wujud hakikinya, sehingga ia mengira bahwa yang dimilikinya adalah ilmu, ia hanyalah perkiraan-perkiraan belaka, tanpa ada kenyatannya, dan itulah kenyataaan dari pada kebanyakan dari ilmu manusia…?”

Jadi Ibnu Qoyyim (juga sebagian ulama’ lain) memberi syarat : “suatu ilmu bisa disebut ilmu, apabila sesuai dengan realita”.

Demikian juga yang dikatakan oleh imam asy-Syatibi bahwa:

“Ilmu yang dikehendaki disini maksudnya ialah agar supaya terjadinya amal-amal perbuatan dalam wujud nyatanya sejalan dengan ilmu tersebut tanpa ada perselisihan, baik amal-amal itu merupakan perbuatan hati, lidah maupun anggota badan”

“Dengan demikian jika suatu perbuatan biasanya berlangsung sejalan dengan ilmunya tanpa ada perselisihan sedikitpun antara keduanya, berarti dalam kaitan ini ia merupakan ilmu sebenarnya, kalau tidak berarti bukan ilmu karena tiada kesesuaian antara keduanya (teori dengan kenyataan -pen). Berarti hal ini bathil, sebab kebalikan ilmu adalah jahil (bodoh)”

Kesimpulan Asy Syatibi rahimahullah mensyaratkan bahwa kesesuaian disini adalah kesesuain dengan kenyataan dalam perkara-perkara indrawi, maknawi dan juga qauli (bersifat perkataan, perkatannya benar -pen)

Persoalannya ialah bagaimana kaidah (tentang ilmu) di atas bisa berlangsung dalam hubungannya dengan perkara-perkara ghaib?

Misalnya tentang Allah, asma’ dan sifat Nya, malaikat, wahyu, hari akhir dan lain sebagainya perkara yang tidak memungkinkan bagi seseorang untuk secara indrawi membuktikan kenyataannya melalui pendekatan realistik?

Untuk menjawab persoalan ini harus dipahami terlebuh dahulu, apakah kenyataan yang realistik itu?

Kenyataan realistik ialah segala sesuatu yang nyata adanya, baik yang dapat terjangkau oleh indra maupun yang diluar jangkauan indra (ghaib)

Jadi perkataan ghaib termasuk bagian dari kenyataan realistik (asal jelas kenyataannya ). Pembuktiannya ialah melalui periwayatan yang benar dan terpercaya.

Syaikh Islam Ibnu Taymiyyah mengatakan:

” Sesungguhnya segala hal yang telah tsabit (jelas adanya) berdasarkan dalil sama’ (wahyu) atau dalil lainnya, berarti jelas adanya, baik tsubut (kejelasan adanya ) itu kita ketahui dengan akal, atau tidak dengan akal , atau tidak kita ketahui baik dengan akal atau tidak dengan akal.

Jadi ketidaktahuan seseorang akan sesuatu, tidak menunjukkan bahwa sesuatu itu tidak ada. Ketidaktahuan kita akan berbagai hakekat yang ada, tidak berarti meniadakan adanya hakekat yang ada tersebut”.

Dengan demikian perkara-perkara yang ghaib jelas merupakan kenyataan yang realistik, yang bisa diketahui tidak melaui pandangan mata, rabaan pendengaran maupun penciuman, tetapi bisa diketahuii karena dua dua hal yakni:

Pertama: Perkara-perkara itu tidak mungkin bisa dipungkiri adanya

Kedua: Diketahui melalui pemberitaan yang secara pasti dijamin kebenarannya dan dijamin kebenaran periwayatannya.

Pada tingkat berikunya, Ibnu Qoyyim rahimahullah- menyatakan : “Dan segala yang tertetapkan didalam diri yang sesuai dengan realita (ilmu yang benar-pen), itu ada dua macam:

1) Jenis ilmu yang menjadikan diri manusia semakin sempurna dengan memahami dan mengilmuinya; yaitu ilmu tentang Allah, asma, sifat, perbuatan-perbuatan, kitab-kitab perintah-perintah, dan larangan-larangan Nya.

2) Jenis ilmu yang tidak membawa manusia menjadi sempurna; yaitu segenap ilmu yang apabila tidak dimengerti / diilmui, tidak akan mendatangkan bahaya, itulah ilmu yang tiada bermanfaat. Nabi Muhammad SAW berdo’a memohon perlindungan dari ilmu yang tidak bermanfat. Dan seperti inilah yang nampaknya kebanyakan “ilmu yang benar” ilmu yang pas dan sesuai dengan realita, namun jika toh tidak diilmuipun tidak akan mendatangkan bahaya apa-apa; misalnya ialah: ilmu falak dengan kerumitan serta tingkatan-tingkatannya, jumlah bintang, jarak dan ukurannya.

Begitu pula ilmu bilangan gunung , warna, luas dan besarnya, dan seterusnya..

Dengan demikian, maka tingkat keutamaan suatu ilmu, ditentukan berdasarkan tingkat keutamaan dan dibutuhkannya sesuatu yang mesti diilmuinya.

Tentu saja tiada lain yang lebih diutamakan dan dibutuhkan melainkan ilmu tentang Allah beserta segala ilmu yang menjadi rangkaiannya..

Ungkapan Ibnul Qayyim di atas adalah benar belaka kecuali jika ilmu-ilmu tersebut membawa pemiliknya menjadi semakin kagum pada keagungan serta ke-Maha Kuasaan Allah, Pencipta Alam semesta.

Adalah memang benar bahwa fitrah manusia sebenarnya amat mengenal kepada Rabbnya, bahkan seperti dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:

“Sesungguhnya pokok ilmu tentang ilahi merupakan hal yang fitri dan pasti, ilmu tentang ilahi tersebut jauh lebih mapan tertanam dalam jiwa dibandingkan dengan prinsip ilmu pasti dan alam seperti ’satu adalah setengah dari dua’ atau ’sebuah tubuh tidak mungkin ada di dua tempat’; sebab pengertian-pengertian dalam ilmu pasti dan alam itu merupakan nama-nama (penyebutan-penyebutan) yang mungkin tidak dimengerti oleh kebanyakan fitrah. Sedangkan ilmu tentang ilahi tidak akan terbayang kalau fitrah tidak mengenalinya. “

Namun tentu pengenalan fitrah semata kepada Rabbnya tidaklah cukup tetapi harus didukung dengan ilmu-ilmu lebih lanjut, yaitu memahami wahyu, sebab wahyu itulah yang akan menjamin berlangsungnya pemahaman secara benar sehingga apa yang sudah dikenali secara fitrah tidak akan terselewengkan.

Syaikh Abil Izzi Al Hanafi menyatakan bahwa: “Ilmu yang paling mulia adalah ilmu ushuluddin (pokok-pokok dien), karena tolok ukur mulianya sebuah ilmu tergantung pada kemulian yang mesti diilmui. Kebutuhan manusia kepada ilmu ini diatas kebutuhan penting lainnya, karena tiada hakekat hidup bagi hati dan tiada kenikmatan serta ketenteraman kecuali apabila ia mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, lengkap dengan Asma’, Shifat serta perbuatan-perbuatan (Rubbubiyah)-nya. Akan tetapi adalah mustahil jika akal (fitrah) semata-mata dapat memahami rincian semua persoalan ushuluddin di atas. Oleh karenanya Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Kasih Sayang dengan segala hkmah serta kebijaksanaan-Nya mengutus para utusan-Nya supaya mengenalkan Allah pada umatnya dan mendakwahi mereka supaya mengabdi kepada-Nya. Allah menjadikan kunci serta intisari dakwah yang dilakukan oleh para Rasul itu ialah: Ma’rifat (mengenal) terhadap Allah lengkap dengan hak Ilahiyah, Asma’, Shifat serta perbuatan-perbuatan-Nya. Inilah tuntutan risalah para nabi semenjak nabi pertama hingga nabi terakhir.”

Pada sisi lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

“Risalah Nabi SAW meliputi dua hal yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, sebagaimana terdapat dalam firman Allah:

“Dialah Allah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) al Huda / petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (at Taubah:33)

Al Huda pada ayat di atas ialah: ilmu yang bermanfaat sedangkan dienul haq ialah amal shalih yang terdiri dari ikhlas karena Allah dan mutaba’ah (ittiba’) kepada Rasulullah SAW.

Ilmu yang bermanfaat meliputi segenap ilmu yang didalamnya terdapat kebaikan dan kemaslahatan bagi umat untuk menempuh kehidupan di dunia maupun di akhirat. Tentu saja yang paling pertama masuk ke dalam ilmu yang bermanfaat adalah ilmu tentang asma’ Allah, sifat-sifat, dan af’al (perbuatan-perbuatan)-Nya, sebab ilmu tersebut adalah ilmu yang paling bermanfaat. Ilmu inilah intisari risalah ilahiyah dan pokok daro dakwah nabi.

Dengan ilmu inilah bakal tegak dienullah baik secara perkataan, perbuatan maupun keyakinan. Oleh sebab itu adalah mustahil jika nabi SAW mengabaikan persoalan ilmu ini dan tidak menjelaskan secara tertulis kepada ummatnya, hingga hilang keraguan serta syubhat…”

Demikianlah uraian beberapa ulama terpercaya tentang hakekat ilmu, batasan-batasan, syarat-syarat dan manakah ilmu yang penting, utama dan pertama harus dimengerti oleh seorang manusia.

Dinukil dari Majalah As Sunnah 09/I/1415 dari tulisan Ustadz Ahmas Faiz