|
Kunjungi Indonesia

Selasa, 22 Juli 2008
Diposting oleh soleh di 17.14 0 komentar
HIKMAH
Remaja Muslim perlu bina jati diri, ketrampilan global
|
Diposting oleh soleh di 06.59 0 komentar
Sabtu, 19 Juli 2008
TA'DZIM
Diposting oleh soleh di 21.49 0 komentar
Jumat, 18 Juli 2008
HIKMAH
MANAJEMEN QOLBU Betapa indahnya sekiranya kita memiliki qolbu yang senantiasa tertata, terpelihara, terawat dengan sebaik-baiknya. Ibarat taman bunga yang pemiliknya mampu merawatnya dengan penuh kesabaran dan ketelatenan. Alur-alur penanamannya tertata rapih. Pengelompokan jenis dan warna bunganya berkombinasi secara artistik. Yang ditanam hanya tanaman bunga yang memiliki warna-warni yang indah atau bahkan yang menyemerbakan keharuman yang menyegarkan. Rerumputan liar yang tumbuh dibawahnya senantiasa disiangi. Parasit ataupun hama yang akan merusak batang dan daunnya dimusnahkan. Tak lupa setiap hari disiraminya dengan merata, dengan air yang bersih. Tak akan dibiarkan ada dahan yang patah atau ranting yang mengering. Walhasil, tanahnya senantiasa gembur, tanaman bunga pun tumbuh dengan subur. Dedaunannya sehat menghijau. Dan, subhanallah, bila pagi tiba manakala sang matahari naik sepenggalah, dan saat titik-titik embun yang bergelayutan di ujung dedaunan menagkap kilatan cahayanya, bunga-bunga itu, dengan aneka warnanya, mekar merekah. Wewangian harumnya semerbak ke seantero taman, tak hanya tercium oleh pemiliknya, tetapi juga oleh siapapun yang kebetulan berlalu dekat taman. Sungguh, alangkah indah dan mengesankan. Begitu pun qolbu yang senantiasa tertata, terpelihara, serta terawat dengan sebaik-baiknya. Pemiliknya akan senantiasa merasakan lapang, tenteram, tenang, sejuk, dan indahnya hidup di dunia ini. Semua ini akan tersemburat pula dalam setiap gerak-geriknya, perilakunya, tutur katanya, sunggingan senyumnya, tatapan matanya, riak air mukanya, bahkan diamnya sekalipun. Orang yang hatinya tertata dengan baik tak pernah merasa resah gelisah, tak pernah bermuram durja, tak pernah gundah gulana. Kemana pun pergi dan dimana pun berada, ia senantiasa mampu mengendalikan hatinya. Dirinya senantiasa berada dalam kondisi damai dan mendamaikan, tenang dan menenangkan, tenteram dan menenteramkan. Hatinya bagai embun yang menggelayut di dedaunan di pagi hari, jernih, bersinar, sejuk, dan menyegarkan. Hatinya tertambat bukan kepada barang-barang yang fana, melainkan selalu ingat dan merindukan Zat yang Maha Memberi Ketenteraman, Allah Azza wa Jalla. Ia yakin dengan keyakinan yang amat sangat bahwa hanya dengan mengingat dan merindukan Allah, hanya dengan menyebut-nyebut namanya setiap saat, meyakini dan mengamalkan ayat-ayat-Nya, maka hatinya menjadi tenteram. Tantangan apapun dihadapinya, seberat apapun, diterimanya dengan ikhlas. Dihadapinya dengan sunggingan senyum dan lapang dada. Baginya tak ada masalah sebab yang menjadi masalah hanyalah caranya yang salah dalam menghadapi masalah. Adalah kebalikannya dengan orang yang berhati semrawut dan kusut masai. Ia bagaikan kamar mandi yang kumuh dan tidak terpelihara. Lantainya penuh dengan kotoran. Lubang WC-nya masih belepotan sisa kotoran. Dindingnya kotor dan kusam. Gayungnya bocor, kotor, dan berlendir. Pintunya tak berselot. Krannya susah diputar dan air pun sulit untuk mengalir. Tak ada gantungan. Baunya membuat setiap orang yang menghampirinya menutup hidung. Sudah pasti setiap orang enggan memasukinya. Kalaupun ada yang sudi memasukinya, pastilah karena tak ada pilihan lain dan dalam keadaan yang sangat terdesak. Itu pun seraya menutup hidung dan menghindarkan pandangan sebisa-bisanya. Begitu pun keadaannya dengan orang yang berhati kusam. Ia senantiasa tampak resah dan gelisah. Hatinya dikotori dengan buruk sangka, dendam kesumat, licik, tak mau kompromi, mudah tersinggung, tidak senang melihat orang lain berbahagia, kikir, dan lain-lain penyakit hati yang terus menerus menumpuk, hingga sulit untuk dihilangkan. Sungguh, orang yang berhati busuk seperti itu akan mendapatkan kerugian yang berlipat-lipat. Tidak saja hatinya yang selalu gelisah, namun juga orang lain yang melihatnya pun akan merasa jijik dan tidak akan menaruh hormat sedikit pun jua. Ia akan dicibir dan dilecehkan orang. Ia akan tidak disukai, sehingga sangat mungkin akan tersisih dari pergaulan. Terlepas siapa orangnya. Adakah ia orang berilmu, berharta banyak, pejabat atau siapapun; kalau berhati busuk, niscaya akan mendapat celaan dari masyarakat yang mengenalnya. Derajatnya pun mungkin akan sama atau, bahkan, lebih hina dari pada apa yang dikeluarkan dari perutnya. Bagi orang yang demikian, selain derajat kemuliannya, akan jatuh di hadapan manusia, juga di hadapan Allah. Ini dikarenakan hari-harinya selalu diwarnai dengan aneka perbuatan yang mengundang dosa. Allah tidak akan pernah berlaku aniaya terhadap makhluk-makhluknya. Sesungguhnyalah apa yang didapatkan seseorang itu, tidak bisa tidak, merupakan buah dari apa yang diusahakannya. "Dan bahwasannya manusia tidak akan memperoleh (sesuatu), selain dari apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasannya kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberikan balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna." (QS. An Najm {53} : 39-41), demikian firman Allah Azza wa Jalla. Kebaikan yang ditunaikan dan kejahatan yang diperbuat seseorang pastilah akan kembali kepada pelakunya. Jika berbuat kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan takaran yang telah dijanjikan-Nya. Sebaliknya, jika berbuat kejahatan, niscaya ia akan mendapatkan balasan siksa sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukannya. Sedangkan kebaikan dan kejahatan tidaklah bisa berhimpun dalam satu kesatuan. Orang yang hatinya tertata rapih adalah orang yang telah berhasil merintis jalan ke arah kebaikan. Ia tidak akan tergoyahkan dengan aneka rayuan dunia yang tampak menggiurkan. Ia akan melangkah pada jalan yang lurus. Dititinya tahapan kebaikan itu hingga mencapai titik puncak. Sementara itu ia akan berusaha sekuat-kuatnya untuk berusaha sekuat-kuatnya untuk memelihara dirinya dari sikap riya, ujub, dan perilaku rendah lainnya. Oleh karenanya, surga sebaik-baiknya tempat kembali, tentulah telah disediakan bagi kepulangannya ke yaumil akhir kelak. Bahkan ketika hidup di dunia yang singkat ini pun ia akan menikmati buah dari segala amal baiknya. Dengan demikian, sungguh betapa beruntungnya orang yang senantiasa bersungguh-sungguh menata hatinya karena berarti ia telah menabung aneka kebaikan yang akan segera dipetik hasilnya dunia akhirat. Sebaliknya alangkan malangnya orang yang selama hidupnya lalai dan membiarkan hatinya kusut masai dan kotor. Karena, jangankan akhirat kelak, bahkan ketika hidup di dunia pun nyaris tidak akan pernah merasakan nikmatnya hidup tenteram, nyaman, dan lapang. Marilah kita senantiasa melatih diri untuk menyingkirkan segala penyebab yang potensial bisa menimbulkan ketidaknyamanan di dalam hati ini. Karena, dengan hati yang nyaman, indah, dan lapang, niscaya akan membuat hidup ini terasa damai, karena berseliwerannya aneka masalah sama sekali tidak akan pernah membuat dirinya terjebak dalam kesulitan hidup karena selalu mampu menemukan jalan keluar terbaiknya, dengan izin Allah. Insya Allah!*** |
Diposting oleh soleh di 05.59 0 komentar
DAKWAH
BENARKAH SEMUA PENDAPAT BOLEH DIAMBIL? Seorang penganut liberal telah mempublikasikan sebuah tulisan yang berjudul “Metodologi Berfatwa Dalam Islam”, katanya: “Setiap umat memiliki hak untuk mengikuti tafsir a la Sunni, a la Mu’tazilah, a la Syi’ah, a la Gus Dur, a la Cak Nur, a la kiai langitan, a la Jaringan Islam Liberal (JIL), a la Ahmadiyah, dan lain-lain. Wahai, serahkanlah kepada umat untuk memilih mana-mana tafsir yang terbaik untuk dirinya” (lihat, situs JIL, 23/9/2005). Tampak jelas dalam penggalan di atas, si penulis memiliki pemahaman bahwa setiap orang boleh mengikuti tafsir siapa saja yang sesuai dengan kecenderungannya, tanpa ada rambu-rambu yang jelas, semuanya diserahkan kepada publik untuk memilih. Dengan sikap yang seperti itu, si kandidat doktor ini juga secara tidak langsung beranggapan bahwa setiap pendapat layak diperhitungkan, tanpa melihat substansi atau kapasitas pencetusnya, tidak heran jika di kesempatan lain si penulis berpendapat bahwa di sana ada kelompok yang pro pluralisme, dan yang kontra pluralisme, sekaligus dalil kedua pihak (Media Indonesia 6/8/2004), tanpa melihat siapa yang pro-kontra, para fuqaha’ atau bukan, si penulis langsung memasukkannya dalam ‘wilayah khilaf’ yang layak diperhitungkan. Bahkan dalam tulisan terakhir, si penulis “Metodologi Berfatwa” menyarankan agar umat islam mau mengadopsi pendapat non muslim (lihat, “Membentengi Islam?”, dipublikasikan dalam situs JIL, 28/8/2006). Jika sikap “tidak jelas” ini terus-menerus dikembangkan, maka bisa-bisa perkawinan sesama jenis juga dihalalkan, karena toh bukankah ada beberapa mahasiswa syari’ah dari IAIN yang membolehkan? Walhasil, nalar seperti ini amatlah berbahaya. Kapan Sebuah Pendapat Bisa Diterima? Jika tidak semua pendapat boleh diambil, maka kapan suatu pendapat bisa diterima? Ada dua syarat yang harus dipenuhi, hingga sebuah pendapat boleh diambil: Pertama, pendapat tersebut tidak bertentangn dengan dalil qath’i. Kedua, pendapat itu lahir dari seorang mujtahid (lihat, Dirasat Fi Al Ikhtilafat Al ‘Ilmiyah, Dr. Muhammad Abu Al Fath Al Bayanuni, hal. 114) Jika ada sebuah pendapat yang tidak memenuhi kedua syarat di atas atau salah satunya, maka pendapat itu tidak diperhitungkan, dan tidak boleh dimasukkan dalam lingkup “khilaf”. Pendapat yang bertentangan dengan dalil qath’i tidak boleh diikuti karena tidak diperbolehkan ijtihad sedangkan di sana terdapat dalil qath’i. Inilah yang dimaksud dengan kaidah “la ijtihada ma’a wurudi an nash”, ijtihad dalam keadaan seperti ini sama dengan melangkahi Allah dan rasul-Nya, firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mendahului Allah dan rasul-Nya”(Al Hujurat, ayat 1), “Tidaklah patut bagi mukmin tidak pula mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan berangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah sesat, sesat yang nyata (Al Ahzab, ayat 36). Imam Ghazali mengatakan: “Obyek ijtihad adalah semua hukum syar’i yang tidak terdapat dalil qath’i, ijtihad seperti inilah yang membebaskan pelakunya dari dosa apabila terjadi kesalahan dalam ijtihadnya. Adapun kewajiban shalat lima waktu, zakat, serta hal-hal yang jelas-jelas disepakati oleh umat yang terdapat di dalamnya dalil qath’i berdosalah mereka yang menyelisihi, hal itu bukanlah obyek ijtihad” (Al Mustashfa, vol. 2, hal. 354). Walau sebuah pendapat lahir dari seorang mujtahid, akan tetapi jika hal itu bertentangan dengan dalil qath’i maka pendapatnya pun tidak boleh dipakai. Imam Syatibi berkata: ”Sesungguhnya jika seorang ‘alim terjatuh dalam kesalahan (dalam ijtihadnya) maka pendapatnya tidak boleh dijadikan pijakan, juga tidak boleh bertaklid kepadanya, hal itu karena hasil ijtihadnya bertentangan dengan syara’” (Al Muwafaqat, vol. 4, hal. 123). Pun pula, kita tidak boleh mengambil pendapat yang datang dari seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad, karena tidak diperbolehkan bagi mereka yang bukan mujtahid mengambil istimbath (kesimpulan) dalam permasalahan fiqih. Bersandar pada firman Allah: “Maka bertanyalah kamu sekalian kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui” (An Nahl, ayat 43), juga ayat lain yang artinya, “dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya” (Al Isra’, ayat 36). Imam Syathibi juga berkata: “Ijtihad dalam syari’ah ada dua macam. Pertama, ijtihad yang diperhitungkan secara syar’i, yaitu ijtihad yang datang dari ahlinya, yang menguasai perangkat yang dibutuhkan dalam ijtihad…Kedua, ijtihad yang tidak diperhitungkan, yaitu ijtihad yang datang dari mereka yang tidak menguasai perangkat yang dibutuhkan dalam ijtihad, karena hal itu hakikatnya hanyalah sebatas pandapat yang didasari selera, kebodohan dan perturutan terhadap hawa nafsu, sebagaimana firman Allah: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka…” (Al Maidah, ayat 49), “Wahai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah…” (Shaad, ayat 26) (Al Muwafaqat, vol.4, hal 121). Kewajiban Tarjih Dalam Masalah Khilaf Dalam masalah ijtihadiyah, jika terdapat dua pendapat atau lebih, yang sama-sama datang dari mujtahid, maka tidak diperbolehkan bagi kaum awam memilih salah satu darinya tanpa melalui proses tarjih terlebih dahulu. Karena dua mujtahid di mata kaum awam seperti dua dalil di mata mujtahid, maka sebagaimana diwajibkan atas mujtahid tarjih, diwajibkan pula atas kaum awam hal itu. Juga atas dasar firman Allah: “…Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasulnya…” (An Nisa’, ayat 59). Dan dua mujtahid telah berbeda pendapat dalam satu masalah yang dihadapi si muqalid, maka si muqalid wajib mengembalikan hal itu kepada Allah dan Rasulnya, yaitu kembali kepada dalil syar’i. Dengan begitu, ia terhindar dari hawa nafsu. Dan memilih salah satu dari dua pendapat dengan hanya berpatokan pada “selera”, bertentangan dengan ruju’ kepada Allah dan Rasul-Nya (lihat, Al Muwafaqat, vol. 4, hal. 96). Sebagaimana Ibnu Qoyim Al Jauziyah juga berpendapat, jika seorang mufti dihadapkan dengan dua pendapat, dan dia mengalami kesulitan untuk mentarjih salah satunya, maka mufti tersebut harus tawaquf, tidak mengeluarkan fatwa dalam masalah itu, hingga dia mengatahui mana yang rajih dari dua pendapat tersebut (lihat, I’lamul Muwaqi’in, vol. 4, hal. 474) Walhasil, jika ada beberapa pendapat maka perlu dilihat terlebih dahulu, apakah pendapat itu bertentangan dengan dalil qath’i atau tidak, hasil ijtihad seorang mujtahid atau bukan. Dan inipun tidak boleh langsung kita ambil, kecuali melalui proses tarjih terlebih dahulu. Wallahu’alam bishowab. (Hidayatullah.com)
|
Diposting oleh soleh di 05.33 0 komentar
Selasa, 08 Juli 2008
HIKMAH
CAHAYA ILMU Bentuk kenikmatan pertama yang Allah anugerahkan kepada kita adalah nikmat diciptakan sebagai manusia yang sempurna, mulanya dari air yang hina yang berasal dari sulbi ayah kita, setelah itu Allah meniupkan sebagian ruhnya dlam janin dalam rahim ibu kita. Maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya roh (ciptaanKu); maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya. QS.Shaad:72 Sampai akhirnya kita dilahirkan kedunia. Sebuah proses penciptaan dan pemeliharan yang sempurna. Subhanallah. Demikianlah Allah melanjutkan pemberian kenikmatan kepada kita sampi saat ini dengan kudrat dan tadbir(pengaturan)Nya yang juga sempurna, sesuatu yang memang sudah dijamin sejak 4 bulan dalam rahim ibu kita, berupa rezeki, jodoh, mati, qodo dan qodarnya. Maka, suungguh aneh manusia yang sesuatu yang sudah dijamin berupa rezeki, tetapi lupa kepada penjaminnya, yakni Allah Azza Wa jalla. Kenikmatan lain yang Allah berikan hanya kepada manusia yaitu akal. Manfaat akal adalah mengenal bukti-bukti kekuasaan Allah dialam semesta. Juga akal menjadi sarana bagi kita untuk melakukan perubahan pada lingkungan sekitar kita, untuk tujuan kebaikan umat manusia. Maka, tidak heran apabila pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menjadi sebagian bukti bahwa Dialah Allah yang Maha Mengetahui (‘alim), Maha halus (al lathif) dan Maha luas dan dalam pengetahuannya (al khoir). Dialah Allah yang memberi ilmu kepada siapa yang dia kehendaki. Oleh karena itu dengan bekal ilmu yang Allah anugerahkan kepada kita maka seharusnya membuat kita semakin taat dan yakin akan kesempurnaan Zat-Nya. Ilmu adalah cahaya, makin kita mereguk nikmat ilmu semestinya membuat kita jadi cahaya, hidup kita lebih lurus, lebih manfaat dan lenih tenang. Bukan sebaliknya, ilmu yang Allah berikan malah membuat kita merasa hebat, semakin gelisah, jadi pecinta dunia, lupa akan akhirat dan lupa kepada Allah, Jangan seperi Qorun yang bangga akan ilmu dan hartanya, akhirnya ditenggelamkan kedalam bumi karena kesombongannya. Justru ilmunya menjadi jalan kehinaan dan kehancuran, Na’udzubillah. Saudaraku, bersyukurlah kita, apabila kita masih diberi kesempatan untuk belajar, bersyukurlah dengan mengamalkan ilmu yang sudah ada pada diri kita dengan sekuat tenaga. Bersyukurlah dengan upaya mencapai ketinggian ilmu yang bisa kita raih, sampai menjadi orang yang paling ahli. Sungguh untuk membangun sebuah peradaban, kita membutuhkan orang-orang ahli, spesialis dan diakui dunia pada bidangnya. Hindari kemalasan dan kelalaian, sebarkanlah ilmu walaupun sedikit yang kita punyai, insya Allah bermanfaat untuk orang lain, sebagaimana pesan Rosulullah Saw, dari Zaid bin Arqam r.a.katanya: Rosulullah Saw mengucapkan dalam doanya yang artinya: “Ya Allah, sesungguhnya saya mohon kepadaMu dari kelemahan dan kemalasan, kekikiran dan dan usia terlampau tua, serta siksa kubur. Ya Allah berikanlah kepada jiwaku ini untuk dapat bertaqwa kepadaMu,juga sucikanlah jiwaku itu karena engkau sebaik-baik zat yang dapat menyucikannya, Engkulah yang Maha Menguasai serta yang menjadi Tuhannya. Ya Allah sesungguhnya saya mohon perlindungan kepada Mu dari ilmu pengetahuan yang tidak bermanfaat,dari jiwa yang tidak dapat khusyu, dari jiwa yang tidak puas-puas dan dari doa yang tidak dikabulkan.”(HR. Muslim) Saudaraku yang dimuliakan oleh Allah Swt, tidaklah sama orang yang berilmu dan tidak berilmu. Bahkan para ulama mengatakan bahwa menuntut ilmu itu lebih baik dari pada ibadah semalaman. Luar biasa, semoga kita senantiasa diberikan kesempatan untuk menambah ilmu kita. Dan dengan ilmu dan pertolongan Allah kita diberikan pemahaman akan kebesaran Allah dan menjadi jalan untuk beramal yang bermanfaat yang di inspirasi oleh hati yang ikhlas. |
Diposting oleh soleh di 05.51 0 komentar